Minggu, 11 Januari 2009

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PERLINDUNGAN HUTAN

Oleh: Waldemar Hasiholan

Kebijakan Umum

Penyelenggaraan perlindungan dan pengamanan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari (Pasal 46 UU No. 41 tahun 1999). Perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan sanksi Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun sudah cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu namun perangkat hukum tersebut belum dapat diterapkan secara optimal dan konsekwen untuk mengatasi pembalakan liar karena masih lemahnya penegakan hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pembalakan liar, diantaranya adalah:

1.Praktik KKN di sektor kehutanan yang menyebabkan upaya penyelesaian pembalakan liar tidak jelas dan tidak terarah pada pelaku utama.
2.Keterlibatan aktor intelektual pembalakan liar yang terlalu kuat untuk ditembus hukum karena keterkaitan dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer.
3.Kondisi sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah sehingga cenderung melakukan pembalakan liar secara berkelompok dan menjadi tameng bagi pemilik modal.
4.Keserakahan pemilik modal sehingga memilih jalan pintas untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan memperalat masyarakat untuk melakukan pembalakan liar.
5.Kurangnya komitmen bersama institusi penegak hukum dalam pemberantasan penebangan liar sehingga masing-masing cenderung menginterpretasikan peraturan dan perundang-undangan menurut kepentingan pribadi, kelompok dan institusi.
6.Tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan hutan dan hasil hutan: Sebagai contoh, tumpang tindihnya kewenangan antara pusat dan daerah. Salah satu penyebab illegal logging adalah tarik-menarik kepentingan di balik kewenangan itu. Jika daerah menggunakan Otsus (otonomi khusus) sedangkan pemerintah memakai Undang-Undang Kehutanan.
7.Perijinan pemanfaatan hasil hutan yang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat tempatan sehingga peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kurang terlibat secara aktif.

Saat ini pembalakan liar sudah menjadi tindak pidana kehutanan yang luar biasa dan hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia yang sudah berdampak merugikan kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, juga telah mengancam moral bangsa, kedaulatan dan keutuhan Wilayah Negara Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia perlu membuat kebijakan nasional khusus untuk memberantas pembalakan liar yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku utama dan pelaku pembantu serta pelaku terkait lainnya. Kebijakan Nasional yang secara khusus menangani tindak pidana pembalakan liar yang telah disiapkan adalah Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar.

Rancangan Undang Undang Pemberantasan Pembalakan Liar

Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar dibuat untuk melengkapi peraturan dan perundang-undangan yang telah ada dengan berazaskan: keadilan, kepastian hukum, sistem peradilan yang cepat, murah dan sederhana, transparans, tidak diskriminatif, bertanggunggugat dan peran serta masyarakat. Tujuan dibuatnya rancangan undang-undang ini adalah untuk memberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera, dan dapat menjangkau semua pihak yang terkait degan pelaku tindak pidana pembalakan liar guna terwujudnya masyarakat sejahtera dan hutan lestari.
Ruang lingkup Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar adalah:

1.Pembentukan badan khusus yang menangani pembalakan liar
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dibentuk untuk memberantas pembalakan liar yang efektif, mencapai sasaran dan memberikan efek jera kepada pelakunya. Badan ini mempunya tugas merencanakan. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pemberantasan pembalakan liar. Adapun kewenangan yang dimilikinya adalah:
a.Menyusun kebijakan, strategi, taktik dan rencana pelaksanaan operasi pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
b.Menyusun mekanisme dan mengelola laporan masyarakat tentang dugaan terjadinya pembalakan liar;
c.Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pembalakan liar yang telah menimbulkan kerugian lebih dari 1 milyar rupiah, melibatkan aparat negara penyelenggara negara, penegak hukum dan TNI serta yang telah meresahkan masyarakat.
d.Mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar badan;
e.Melakukan pelelangan barang bukti hasil pembalakan liar;
f.Meminta dan memperoleh seluruh status penanganan perkara pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar badan;
g.Mengumpulkan, menganalisa, mengevaluasi proses dan hasil penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara pembalakan liar di sidang pengadilan;
h.Memberikan perlindungan terhadap informan, pelapor, saksi dan korban.
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar diketuai oleh Menteri dan bertanggungkawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

2.Pembentukan Pengadilan Khusus di Peradilan Umum
Dalam rangka efisien dan efektifitas penegakan hukum terhadap pembalakan liar dilingkungan Peradilan umum, maka Mahkamah Agung membentuk Pengadilan Khusus Pembalakan Liar yang mempunyai wewenang khusus untuk memeriksa, mengadili dan menutuskan perkara pembalakan liar.
Hakim Pengadilan Khusus Pembalakan Liar terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc yang ditetapkan dan diberhentikan oleh Presiden.

3.Hukum Acara Pidana
Tata cara pelaksanaa dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan pembalakan liar berdasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku. Pemeriksaan di sidang pengadilan serta putusan perkara dapat dilaksanakan oleh hakim tanpa kehdiran terdakwa.

4.Hukum Materiil
Alat bukti pemeriksaan perbuatan pembalakan liar, meliputi: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHP, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik.

5.Kerjasama Internasional
Dalam rangka pencegahan dan penberantasan pembalakan liar Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dapat bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia melakukan kerjasama internasional dengan negara lain maupun organisasi internasional.

6.Perlindungan saksi, korban, pelapor dan informan
Masyarakat yang berperanserta dalam pemberantasan pembalakan liar perlu mendapatkan perlindungan baik keamanan maupun hukum. Untuk itu Badan PPL dapat meminta bantuan instansi terkait untuk memberikan perlindungan kepada saksi, pelapor, korban dan informan.

7.Insentif dan Pendanaan
Biaya untuk pelaksanaan undang-undang pemberantasan pembalakan liar dan pelaksanaan tugas Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dibebankan pada dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara, hasil lelang dan sumber dana lainnya.

8.Ketentuan lain.
Penentuan keabsahan hasil hutan kayu bertupa fisik maupun dokumen hanya dapat dilakukan oleh petugas kehutanan yang ditunjuk oleh Ketua Badan Pemberantasan Pembalakan Liar. Semua hasil hutan dari hasil penbalakan liar dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya disita untuk negara.

Koordinasi Perlindungan Hutan

Salah satu penyebab kerusakan hutan yang sangat merugikan negara adalah adanya pembalakan liar atau ilegal loging. Oleh karena ruang lingkup penyebab terjadinya dan pelaku pembalakan liar meliputi lintas sektoral maka untuk memberantas pembalakan liar diperlukan koordinasi dan keterpaduan lintas institusi yang terkait mulai dari hulu sampai dengan hilir. Tujuan dari koordinasi perlindungan hutan adalah mewujudnya perlindungan hutan dan penegakan hukum secara optilmal dan terpadu dengan melakasanakan kegiatan pokok:
1.Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal
2.Revitalisasi sektor kahutanan khususnya industri kehutanan
3.Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan
4.Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan
5.Pemantapan kawasan hutan

Koordinasi pemberantasan illegal logging sudah dirintis sejak Tahun 1982 dengan dibentuknya Tim Khusus Kehutanan yang pada Tahun 1985 diubah menjadi Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH). Kemudian pada Tahun 1995 diterbitkan Keppres 22/1995 tentang Pembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Selanjutnya Tahun 2000 dibentuk Tim Penanggulangan Penebangan Liar dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan 150/2000. Selain itu sejak Tahun 2001 Departemen Kehutanan bersama Kepolisian Republik Indonesia dan Markas Besar TNI Angkatan Laut menggalakkan Operasi Wanalaga dan Wanabahari untuk menangkal illegal logging di darat dan di laut, Tahun 2003 dilanjutkan dengan Operasi Hutan Lestari (OHL).

Berbagai upaya koordinasi perlindungan dan pengamanan hutan untuk memberantas pembalakan liar yang telah dilakukan pemerintah tersebut belum efektif dan belum menunjukaan hasil sesuai harapan. Perangkat hukum yang ada belum bisa menyentuh pelaku utama dan membuat semua pihak yang terlibat menjadi jera. Kerusakan hutan terus berlangsung demikian juga dengan aktivitas ilegal loging masih semakin marak dan mengkawatirkan.

Sebagai perwujudan komitmen politik dalam memberantas ilegal loging Pemerintah Republik Indonesia, melaui INPRES Nomor 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada:
1.Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
2.Menteri Kehutanan;
3.Menteri Keuangan;
4.Menteri Dalam Negeri;
5.Menteri Perhubungan;
6.Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7.Menteri Luar Negeri;
8.Menteri Pertahanan;
9.Menteri Perindustrian;
10.Menteri Perdagangan;
11.Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12.Menteri Negara Lingkungan Hidup;
13.Jaksa Agung;
14.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
15.Panglima Tentara Nasional Negara;
16.Kepala Badan Intelijen Negara;
17.Para Gubernur;
18.Para Bupati/Walikota;

Untuk:
1.Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

a.Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
b.Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c.Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d.Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e.Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

2.Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

3.Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

4.Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.

5.Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
Khusus kepada :

1.Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:
a.Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b.Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c.Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.

2.Menteri Kehutanan:

a.Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
b.Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
c.Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

3.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a.Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
b.Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c.Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.

4.Jaksa Agung :
a.Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
b.Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.

5.Panglima Tentara Nasional Indonesia :
a.Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.

6.Menteri Keuangan :
a.Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b.Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.

7.Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

8.Menteri Perhubungan :
a.Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
b.Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
c.Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d.Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

9.Para Gubernur :
a.Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b.Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
c.Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e.Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
f.Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

10.Bupati/Walikota :
a.Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b.Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
c.Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e.Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
f.Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g.Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
h.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, agar memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya kepada instansi terait.

Rangkuman
Perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 sudah cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu namun perangkat hukum tersebut belum dapat diterapkan secara optimal dan konsekwen untuk mengatasi pembalakan liar karena masih lemahnya penegakan hukum.
Koordinasi pemberantasan illegal logging yang sudah dirintis sejak Tahun 1982 sampai dengan sekarang belum menunjukan hasil yang efektif sehingga Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada selutuh jajaran pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah untuk memberantas pembalakan liar yang telah terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu sebagai komitmen Bangsa Indonesia dalam memerangi pembalakan liar, saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar.

Selasa, 06 Januari 2009

PERENCANAAN PERLINDUNGAN HUTAN

Oleh: Waldemar Hasiholan

Kebutuhan Rencana Perlindungan Hutan
1.Tahapan penyusunan

Proses penyusunan rencana kerja perlindungan dan pengamanan hutan meliputi tahapan sebagai berikut :
a.Tahap mengumpulkan bahan dan keterangan. Pada tahap ini bahan dan informasi yang dikumpulkan berasal dari sumber langsung maupun dari sumber sekunder.
b.Tahap mengolah data untuk menyusun rencana kerja. Bahan dan informasi yang telah dikumpulkan dilakukan pengkajian dan sintesa untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dan menetapkan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan yang efektif dan efisien..
c.Tahap membuat konsep rencana kerja. Hasil pengolahan data dan informasi yang memuat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamn serta langkah-langkah pelaksanaan kegiatan yang efektif dan efisien tersebut dituangkan dalam bentuk rencana kerja.
d.Mempresentasikan konsep rencana kerja. Konsep rencana kerja yang telah dibuat dipresentasikan dalam forum satuan unit kerja untuk mendapat masukan dalam penyempurnaannya.
e.Menyempurnakan konsep. Berdasarkan masukan data dan unformasi yang diperoleh saat presentasi, konsep rencana kerja disempurnakan menjadi rencana kerja definitif yang akan digunakan sebagai dasar dan panduan pelaksanaan kegiatan.

2.Klasifikasi rencana kerja

a.Rencana kerja tahunan
Rencana kerja tahunan memuat kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun. Rencana kerja satu tahun bersifat umum dan menggambarkan target yang akan dicapai dalam satu tahun.
b.Rencana kerja semester
Rencana kerja semester memuat kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalan satu semester. Rencana kerja ini merupakan penjabaran dari rencana kerja tahunan yang bersifat lebih rinci.
c.Rencana kegiatan
Rencana kegiatan merupakan penjabaran yang sangat rinci dari setiap kegiatan yang termuat dalam rencana kerja. Dalam rencana kegiatan tujuan, sasaran, target yang akan dicapai, metode pelaksanaan, personil pelaksana dan pembiayaan telah dibuat secara rinci. Jadi rencana kegiatan merupakan dasar dan panduan pelaksanaan suatu kegiatan.

3.Jenis rencana kerja

Berdasarkan Surat Keptusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 55/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 2 Juli 2003 Tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dan Angkakreditnya, penyusunan rencana kerja perlindungan dan pengamanan kawasan yang harus dibuat oleh Polisi Kehutanan, adalah :
a.Rencana kerja penanggulangan kebakaran hutan
Rencana kerja penanggulangan kebakaran hutan bertujuan untuk memberikan arah dalam mencegah, mengendalikan dan memadamkan kebakaran hutan. Rencana kerja ini memuat kegiatan antara lain :

1)Inventarisasi sumber air, yaitu kegiatan untuk mengetahui akses dan lokasi sumber air permanen atau sumber air yang masih berair pada saat musim kemarau. Informasi ini sangat diperlukan pada saat terjadi kebakaran hutan yang akan digunakan sebagai sumber air dalam pelaksanaan pemadaman.
2)Inventarisasi pemukiman disekitar kawasan hutan, yaitu kegiatan untuk mengetahui tipe aktifitas masyarakat yang memungkinkan menjadi sumber api dalam kebakaran hutan. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah masyarakat yang dapat menjadi tenaga dalam penanggulangan kebakaran hutan.
3)Inventarisasi perladangan di sekitar kawasan hutan, bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang biasa menjadi aktifitas masyarakat yang memungkinkan menjadi sumber api kebakaran hutan.
4)Inventarisasi tegakan hutan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi bahan bakar dalam kebakaran hutan
5)Patroli hutan, kegiatan perondaan untuk mencegah kebakaran hutan dan memadamkan nyala api sedini mungkin untuk menghindari kebakaran hutan.
6)Pemadaman api, tindakan yang diperlukan dalam pemadaman kebakaran hutan.

b.Rencana kerja penanggulangan pencurian hasil hutan
Rencana kerja penanggulangan pencurian hutan bertujuan untuk memberikan arah dalam mencegah dan memberantas dan pencurian, penebangan liar di dalam kawasan hutan serta peredarannya. Rencana kerja ini memuat kegiatan antara lain :

1)Inventarisasi daerah rawan penebangan liar dan akses yang digunakan untuk penebangan liar serta peredaran kayu secara liar
2)Inventarisasi tegakan hutan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui potensi kayu dan nilai ekonomis hutan.
3)Penjagaan dan Patroli hutan, yang merupakan kegiatan perondaan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil hutan dan penebangan liar serta peredaran hasil hutan secara liar.
4)Koordinasi pembersantasan penebangan liar dan peredaran hasil hutan dengan instasi terkait lainnya.
5)Rencana pelaksanaan operasi fungsional, operasi gabungan dan operasi khusus pemberantasan penebangan liar di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

c.Penyusunan Rencana Penanggulangan Perambahan Hutan
Kegiatan yang termasuk dalam penanggulangan perambahan hutan diantaranya, yaitu:

1)Inventarisasi ladang dan pemukiman dalam hutam. kegiatan pengumpulan data dan informasi yang meliputi : jumlah unit ladang, luas ladang, pemilik ladang, jumlah pemukiman, masyarakat yang berada di dalam kawasan.
2)Inventarisasi pemukiman sekitar kawasan hutan. umlah unit ladang, luas ladang, pemilik ladang, jumlah pemukiman, masyarakat yang berada di sekitar batas kawasan hutan aksesibilitas dan lain-lain..
3) Penurunan perambah dari dalam kawasan hutan. Kegiatan yang telah dikoordinasikan dengan pemerintah daerah untuk mengeluarkan perambah dari kawasan hutan.
d.Penyusunan Rencana Penanggulangan Hama dan Penyakit

1)Inventarisasi tumbuhan eksotik. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang tidak asli setempat yang memngkinkan menjadi hama bagi tanaman lain.
2)Inventarisasi satwa eksotik. Kegiatan pengumpulan bahan da an informasi yang berkaitan dengan adanya satwa bukan lokal yang memngkinkan menjadi sumber hama bagi tanaman hutan.
3)Inventarisasi satwa liar yang populasinya melimpah dan telah menyebabkan kerusakan tegakan hutan.
4)Monitoring kesehatan tegakan hutan. Kegiatan pemantauan terhadap kesehatan tegakan hutan dari waktu ke waktu

Perencanaan Sumber Daya Manusia

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 597/Kpts-VI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998 jumlah kebutuhan tenaga untuk melaksanakan perlindungan dan pengamanan hutan, diuraikan sebagai berikut :

1.Untuk memenuhi tenaga Satuan Tugas Operasional Polhut yang berkedudukan di Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota/Balai Taman Nasional/Balai Konservasi Sumber Daya Alam diperlukan personil Polisi Hutan paling sedikit berjumlah 35 orang, masing-masing bertugas sebagai :

a.Kepala Satuan Tugas : 1 orang (Golongan III/b)
b.Wakil Kepala Satuan : 1 orang (Golongan III/a)
c.Kepala Urusan Dalam : 1 orang (Golongan II/d)
d.Anggauta : 2 orang (Golongan II/a – II/c)
e.Anggauta Satuan : 30 orang terdiri dari 3 orang (Gol.II/d)
dan 27 orang (Golongan II/a-II/c)
2.Untuk memenuhi Unit Operasional Polhut yang berkedudukan di Resort Pemangkuan Hutan/Sub Seksi Wilayah/Seksi Wilayah Balai Taman Nasional atau Balai KSDA diperlukan Polisi Hutan berjumlah minimal 11 orang, masing-masing bertugas sebagai

a.Kepala Satuan Unit : 1 orang (Golongan III/a-II/b)
b.Tata Usaha Urusan Dalam : 1 orang (Golongan II/d)
c.Anggauta : 9 orang terdiri 3 orang (Gol.II/d) dan
6 orang (Golongan II/a – II/c)
Berdasarkan perbandingan antara luas kawasan hutan dengan jumlah polhut yang optimal untuk perlindungan dan pengamanan hutan diperkirakan 1.000 ha/POLHUT.

Perencanaan Kebutuhan Keterampilan

Keterampilan yang dibutuhkan oleh tenaga perlindungan dan pengamanan hutan dalam rangka pelaksanaan perlindungan dan pengamanan hutan yang efektif dapat dibedakan menjadi :

1.Keterampilan Perorangan
2.Keterampilan Beregu
3.Keterampilan Teknis
4.Keterampilan Sosial

Perencanaan Kebutuhan Perlengkapan


1.Peralatan dan perlengkapan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 597/Kpts-VI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998, standar peralatan minimal dalam Organisasi Polisi Kehutanan, adalah sebagai berikut :

a.Pada Tingkat Satuan Tugas
1)Kendaraan Satuan : 4 (empat) Pick up / Speed boat
2)Kendaraan Perorangan : 6 (enam) Sepeda Motor/Motor tempel
3)Senjata api laras panjang : 9 (sembilan) pucuk
4)Senjata api genggam : 5 (lima) pucuk
5)Alat Komunikasi HT : 15 (lima belas) buah
6)Alat komunikasi Rig : 3 (tiga) buah

Pengalaman menunjukan dalam memberdayakan Polisi Kehutanan selain peralatan dan perlengkapan yang disebutkan di atas, juga dibutuhkan :
1)Alat Navigasi GPS: 6 (enam) buah
2)Alat Navigasi Kompas: 15 (dua puluh) buah
3)Kamera Saku: 10 (sepuluh) buah
4)Tenda Regu: 2 (dua) unit
5)Peralatan Masak trangia: 8 (delapan) buah

b.Pada Tingkat Unit Polhut
1)Kendaraan: 1 (satu) pick up / Speed boat
2)Kendaraan perorangan: 4 (empat) Sepeda motor / Motor tempel
3)Senjata api laras panjang: 3 (tiga) pucuk
4)Senjata api genggam: 1 (satu) pucuk
5)Alat komunikasi HT: 5 (lima) buah
6)Alat komunikasi Rig: 1 (satu) unit

Pengalaman menunjukan dalam memberdayakan Polisi Kehutanan selain peralatan dan perlengkapan yang disebutkan di atas, juga dibutuhkan :
1)Alat Navigasi: 2 (dua) GPS
2)Alat Navigasi: 5 (lima) Kompas Bidik
3)Kamera Saku: 3 (tiga) buah
4)Tenda Dom: 2 (dua) unit
5)Peralatan Masak: 2 (dua) trangia

Sedangkan Perlengkapan Standar POLHUT Perorangan telah diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 55/Kpts/DJ-IV/2002 dengan rincian sebagai berikut :
a.Veldfles/tempat air b.Borgol c.Pisau d.Ransel e.Jaket
f.Jas Hujan g.Senter h.Rantang i.Peluit j.Tongkat Polisi
k.Golok l.Tali Temali m.Rompi

2.Pakaian Seragam
Pakaian seragam Polisi Kehutanan juga diatur dalam secara rinci dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 55/Kpts/DJ-IV/2002 Tentang Petunjuk Teknis Pakaian, Atribut dan Perlengkapan Polisi Hutan. Jenis dan jumlah Pakaian POLHUT adalah sebagai berikut:
a.Pakaian Dinas Harian (PDH) : 1 (satu) stel setiap tahun
b.Pakaian Dinas Lapangan (PDL) : 2 (dua) stel setiap tahun
c.Pakaian Dinas Upacara (PDU) : 1 (satu) stel setiap tiga tahun

3.Perencanaan Kebutuhan Fasilitas Perumahan dan Kantor
Untuk mendukung kecepatan operasi dan sikap kebersamaan POLHUT diperlukan adanya perumahan dan kantor bagi POLHUT dengan ketentuan :

a.Jumlah rumah sesuai dengan Jumlah Polhut
b.Dibangun di dekat kawasan hutan di Wilayah Kabupaten/Kecamatan.
c.Untuk kantor satuan tugas polhut dibangun dekat perumahan polhut

Untuk Kantor Satuan Unit Polhut disediakan satu ruangan dilingkungan Kantor Resort Pemangkuan Hutan/Resort TN/Resort KSDA.

KONSEP DASAR PERLINDUNGAN HUTAN

Oleh: Waldemar Hasiholan

Maksud dan Tujuan

Perlindungan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit dan mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Dengan demikian perlindungan hutan bertujuan untuk :
1.Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit dan gulma.
2.Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan,

Ruang Lingkup Perlindungan Hutan

1.Perlindungan terhadap kawasan hutan
Penggunaan kawasan hutan produksi harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang harus mendapat persetujuan Menteri. Dalam rangka memperoleh kepastian hukum di lapangan maka setiap areal yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan penataan batas. Dengan telah dilakukannya penataan batas hutan, maka tanpa adanya kewenangan yang sah setiap orang dilarang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan.

2.Perlindungan terhadap tanah hutan
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahan-bahan galian yang dilakukan di dalam kawasan hutan atau hutan cadangan, diberikan oleh instansi yang berwenang setelah mendapat persetujuan Menteri. Dalam hal penetapan areal yang bersangkutan sebagai kawasan hutan dilakukan setelah pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi, maka pelaksanaan lebih lanjut kegiatan eksplorasi dan ekspolitasi tersebut harus sesuai dengan petunjuk Menteri. Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan karusakan tanah dan tegakan. Siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya.

3.Perlindungan terhadap kerusakan hutan
Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang dan selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan.
Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai kewajiban ikut serta dalam usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. Ketentuan-ketentuan tentang usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan diatur dengan Peraturan Daerah Tingkat I dengan memperhatikan petunjuk Menteri. Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput, dan mekanan ternak lainnya serta serasah dari dari dalam hutan hanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang ditunjuk khusus untuk keperluan tersebut oleh pejabat yang berwenang.

4.Perlindungan terhadap hasil hutan
Untuk melindungi hak-hak Negara yang berkenaan dengan hasil hutan, maka terhadap semua hasil hutan harus diadakan pengukuran dan pengujian. Hasil pengukuran dan pengujian terhadap hasil hutan adalah merupakan dasar perhitungan penetapan besarnya pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya. Untuk membuktikan sahnya hutan dan telah dipenuhinya kewajiban-kewajiban pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya hingga dapat digunakan atau diangkut, maka hasil hutan tersebut harus mempunyai surat keterangan sahnya hasil hutan.

Perlindungan Hutan Berbasis Ekologi

Prinsip dasar Perlindungan Hutan yang paling penting bagi seluruh penyebab kerusakan ialah pencegahan awal terjadinya kerusakan hutan. Selain itu pencegahan perkembangan penyebab kerusakan akan lebih efektif dibanding dengan pengendalian setelah kerusakan terjadi. Istilah pencegahan diartikan sebagai pengambilan langkah yang jelas untuk menghambat perkembangan penyebab kerusakan hutan agar tidak melampaui tingkat yang menimbulkan kerugian yang besar.

Upaya pencegahan perkembangan penyebab kerusakan tersebut dilakukan melalui tindakan pengelolaan hutan dan silvikultur yang tepat dan hati-hati sehingga hutan dapat berkembang membentuk suatu keseimbangan ekologis. Pada tingkat keseimbangan ekologis tersebut seluruh faktor-faktor pembentuk sistem komunitas hutan saling berinteraksi sehingga perkembangan satu atau beberapa faktor dibatasi oleh faktor pembentuk sistem komunitas yang lain.

Prinsip dasar pencegahan diatas tercemen dalam program pengelolaan kesehatan hutan oleh Nyland (1996). Pengembangan program kesehatan hutan itu sendiri sekaligus merupakan suatu perubahan besar dalam konsep Perlindungan Hutan. Ketika pengelolaan hutan masih mengutamakan produksi kayu dan hasil hutan lain, program Perlindungan Hutan menggunakan suatu asumsi bahwa permasalahan Perlindungan Hutan timbul setelah kerusakan terjadi dalam skala luas. Program Perlindungan Hutan yang baru ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang interaksi antara penyebab kerusakan dengan pertumbuhan pohon hutan, agar dapat menentukan pilihan-pilihan tindakan pengendalian. Program pengendalian yang dimaksud diarahkan untuk menekan agar kerusakan berada pada tingkat yang secara ekonomis tidak merugikan. Menghilangkan sama sekali penyebab kerusakan dari dalam hutan tidak direkomendasikan oleh karena dapat mengganggu keseimbangan ekologis dan menimbulkan dampak kerusakan lain. Program Perlindungan Hutan yang mengupayakan keseimbangan faktor-faktor pembentuk ekosistem hutan tersebut juga disebut program pengelolaan kesehatan hutan.

Penyebab Kerusakan Hutan

Kerusakan hutan di Indonesia berdasarkan pelaku atau sumber penyebab dapat digolongkan menjadi:
1. Kerusakan antropogenik: kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia secara langsung maupun tidak langsung, serta kerusakan hutan yang disebabkan oleh ternak.
2. Kerusakan biotik: kerusakan hutan yang disebabkan oleh hama, penyakit dan gulma.
3. Kerusakan abiotilk: kerusakan hutan yang disebabkan oleh petir, banjir, tanah longsor dan lain-lain.

Pembalakan Liar

Pembalakan liar adalah salah satu penyebab kerusakan hutan terbesar di Indonesia yang dilakukan oleh manusia secara langsung. Bahkan dalam tiga dasa warsa ini Pemerintah Indonesia belum mampu untuk memberantas pembalakan liar. Oleh karena itu Pemerintah RI telah menyatakan bahwa pembalakan liar telah mengancam keutuhan bangsa. Untuk mengatasi pembalakan liar tersebut Presiden Republik Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 yang memerintahkan kepada segenap komponen bangsa untuk memberantas aksi pembalakan liar.
Dalam perkembangannya Instruksi Presiden tersebut dirasakan masih juga belum mampu mengatasi dan membuat jera para pelaku pembalakan liar. Saat ini Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia telah menyiapkan dan membahas Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Pembalakan Liar yang merupakan wujud dan komitmen setiap Warga Negara Indonesia untuk melindungi dan menyelamatkan hutan serta memberantas segala bentuk kegiatan pembalakan liar. N Pembalakan liar yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Faktor-faktor utama penyebab terjadinya pembalakan liar di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terjadinya kesenjangan yang tinggi antara jumlah hasil hutan yang dapat dihasilkan oleh Kawasan Hutan Produksi dengan hasil hutan yang dibutuhkan oleh Industri Hasil Hutan maupun kebutuhan pasar.
2. Belum efektifnya pengelolaan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kawasan Hutan Produksi.
3. Lemahnya penegakan hukum dalam pencegahan dan penanganannya telah menyebabkan pembalakan liar tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kegiatan yang dilarang

Dalam rangka melindungi hutan dan hasil hutan dari gangguan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dinyatakan bahwa:

1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan;
3. Setiap orang dilarang :
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1) 500 (lima ratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3) 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang

Senin, 05 Januari 2009

KONDISI POPULASI DAN HABITAT HARIMAU SUMATERA


Oleh: Waldemar Hasiholan

Populasi

Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau memelihara anak. Home range untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60 – 100 km2. Tetapi angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3 – 4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina. Di Way Kambas dalam 100 km2 di dihuni oleh 3 - 5 ekor harimau.



Penyebaran Harimau Sumatera
Harimau Sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah:
1.Adanya habitat dengan kwalitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan anak serta berburu.
2.Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang
3.Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup.

Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera di Indonesia bervariasi, dengan ketinggian antara 0 – 3000 meter dari permukaan laut,seperti:
1.Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan
2.Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar
3.Padang rumput terutama padang alang-alang
4.Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis
5.Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian
6.Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hutan gambut.

Harimau Sumatera merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di Pulau Sumatera saja. Sebelumnya, populasi Harimau Sumatera sangat banyak tersebar, mulai dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan, Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas.

Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai puluhan ribu ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor dan saat ini berkisar 400-600 ekor. Diperkirakan pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak 30 ekor per tahun, dengan penyebab utama adalah : Konversi Hutan, Degradasi Habitat, Fragmentasi Habitat, Konflik Harimau dengan Manusia, Perburuan Harimau dan Perburuan Satwa Mangsa.

Daya Dukung Habitat Harimau Sumatera

Daya Dukung habitat merupakan ukuran populasi yang sangat penting dalam menentukan kelestarian populasi dalam jangka panjang. Oleh karenan itu dalam pengelolaan satwa liar daya dukung habitat menjadi suatu persaratan untuk di ketahui secara awal. Dengan semakin bertambahnya informasi tentang bioekologi harimau sumatera dan pengalaman dalam implementasi konservasi Harimau Sumatera, secara ringkas dapat diperoleh informasi awal mengenai status dan daya dukung habitat harimau di Pulau Sumatera. Studi ini juga mempertimbangkan kondisi habitat yang berada di dalam dan di luar kawasan konservasi. Ada tiga persyaratan penting yang dibutuhkan oleh harimau sumatera untuk mempertahankan hidup di habitatnya, yaitu:

1.Kondisi habitat yang baik, termasuk di dalamnya luas dan cover yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari panas dan membesarkan anak.
2.Kondisi Satwa mangsa yang cukup, kaya akan jenis dan populasi yang cukup.
3.Ketersediaan air, untuk minum dan mandi.

Harimau sumatera dapat hidup dengan ketinggian 0 – 3000 meter dari permukaan laut, namun lebih banyak di jumpai di Dataran Rendah. Di Taman Nasional Way Kambas yang merupakan perwakilan hutan Hujan Dataran Rendah dalam 10.000 ha dapat dijumpai hingga 3-4 individu harimau sumatera. Sedangkan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berupa perbukitan dalam 10.000 ha lebih sedikit di jumpai harimau sumatera. Asumsi yang digunakan untuk menentukan habitat harimau sumatera dalam studi ini, adalah sebagai berikut:

1.Hanya hutan alami yang menjadi habitat harimau (semak belukar, perkebunan sawit dan hutan tanaman diabaikan).
2.Ketinggian tertentu menjadi faktor yang membatasi habitat harimau.
3.Daya Dukung Habitat lebih penting dibandingkan dengan ukuran populasi dalam memperkirakan terjadinya pemunahan. Sebagai contoh populasi yang kecil di suatu area dengan daya dukung habitat yang besar dapat dengan cepat memperluas sampai batas daya dukungnya. Sedangkan pada areal yang daya-dukungnya kecil populasi tidak mampu untuk memperluas populasinya.
4.Pengaruh positif dan negatif akibat adanya aktifitas dan kegiatan di sekitar habitat harimau diabaikan.
5.Hutan Rawa Gambut dipertimbangkan mempunyai daya-dukung yang sama dengan Hutan Dataran Rendah.

Dasar dalam menetapkan habitat harimau sumatera Tutupan Hutan Pulau Sumatera Tahun 1997 yang di Produksi oleh Departemen Kehutanan dan telah digunakan oleh Bank Dunia. Walaupun Peta yang digunakan ini secara parsial kurang sempurna karena adaya lapisan awan tapi tidak berpengruh terlalu besar terhadap perhitungan daya dukung habitat harimau sumatera dalam studi ini. Hilangnya tutupan hutan yang luas di beberapa tempat di Pulau Sumatera akibat konversi hutan bagi kepentingan Perkebunan Sawit, Pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk Pulp dan Pembukaan Hutan untuk kepentingan lain telah menyebabkan fragmentasi habitat yang begitu menyebar dalam bentuk blok blok hutan.

Berdasarkan pada sifat pengklasifikasian populasi harimau sumatera, maka di Pulau Sumatera terdapat Tujuh Blok Hutan dengan daya dukung habitat lebih besar dari 100 individu harimau disebut sebagai Populasi Sehat dan Independent, Empat Blok Hutan dengan daya dukung habitat 50 - 100 individu harimau disebut sebagai Populasi Sehat Dengan Pengelolaan, Delapan Blok Hutan dengan daya dukung habitat 25 dan 50 individu disebut sebagai Populasi Yang Berpotensi Sehat Dengan Pengelolaan Intensip. Secara umum Daya Dukung Habitat Harimau Potensial di Pulau Sumatera diperkirakan mencapai 2,905 individu harimau sumatera.

Populasi Harimau Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya 400-600 individu masih berada jauh di bawah Daya Dukung Habitatnya. Selain itu sebagian dari populasi harimau tersebut berada pada habitat yang daya dukung habitatnya kecil sehingga akan mempercepat kepunahan lokal.

Jumat, 02 Januari 2009

BENTUK DAN PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN


Oleh: Waldemar Hasiholan

Tingkat Kerusakan Hutan Di Indonesia

Menurut Bank Dunia dalam kurun waktu 1985-1997 degradasi hutan di Indonesia rata-rata 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Sedangkan berdasarkan analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Departemen Kehutanan menegaskan bahwa sampai tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun

Sebagian besar kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh aktivitas ilegal logging atau pembalakan liar termasuk di dalamnya penebangan secara berlebihan dan penebangan pohon di luar blok tebangan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Selebihnya dikarenakan kebakaran hutan, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman, konversi tegakan hutan alam, penambangan liar, pendudukan kawasan dan perambahab hutan.

Penyebab Terjadinya Kerusakan Hutan

Berdasarkan pelakunya penyebab kerusakan hutan di Indonesia dapat disebabkan oleh karena perbuatan manusia, ternak, hama dan penyakit, kebakaran serta daya-daya alam.

1.Disebabkan oleh manusia
Penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia sebagian besar adalah merupakan kegiatan aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan dan hasil hutan baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Kerusakan hutan yang sangat dominan dan telah menjadi ancaman terhadap kelestarian adalah pembalakan liar.
Pembalakan liar di Indonesia sudah semakin menghawatirkan dan sulit untuk diberantas. Adapun faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab terjadinya pembalakan liar adalah, sebagai berikut:

a.Kesenjangan suplai dan tersedianya bahan baku industri, tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan. Akibat dari ketimpangan antara persediaan dan permintaan, ikut mendorong penebangan liar di taman nasional dan hutan konservasi Kondisi ini diperparah lagi dengan tumbuhnya industri kayu tanpa izin dekat lokasi penebangan dan penimbunan kayu di mana transaksi jual beli kayu tanpa dokumen berlangsung.

b.Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat pesat disisi lain berkurangnya tanah pertanian disertai keadaan sosial ekonomi masayarakat disekitar hutan yang rendah dan terbatasnya lapangan pekerjaan, telah mendorong masyarakat untuk merambah kawasan hutan, membuka hutan dan memanfaatkan hasil hutan secara liar.

c.Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan dan kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan masyarakat mudah melakukan perusakan hutan.

d.Lemahnya penegakan hukum, karena:
1)Kurangnya ketegasan hukum dan keberanian aparat terkait untuk menindak korporat, pejabat dan oknum aparat itu sendiri yang melakukan atau mendukung pembalakan liar.
2)Terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada proses pengelolaan hutan, sehingga instansi dan aparat yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hutan terkesan lamban dalam mengatasi penyimpangan dalam pengelolaan hutan atau cenderung membenarkan hal yang tidak benar.

e.Meningkatnya krisis moral, sehingga terjadi praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat.

f.Belum efektifnya manajemen pengelolaan hutan di Indonesia, yang antara lain disebabkan:
1)Terbatasnya Sumber Daya Manusia, belum proporsionalnya antara jumlah dan kwalitas serta penyebaran tenaga perlindungan dan pengaman hutan dengan luas kawasan hutan yang dikelola.
2)Terbatasnya Sumber Daya Finansial, rendahnya satuan biaya pengelolaan hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan produksi yang lestari. Sebagai contoh Kawasan Hutan Taman Nasional di Indonesia yang dikelola secara intensif melebihi kawasan hutan lainnya hanya memiliki biaya pengelolaan Rp.6.000,- s/d Rp. 10.000,- perhektar/bulan.
3)Terbatasanya Sarana dan Prasarana, demikian pula sarana dan prasarana serta peralatan pengelolaan hutan yang tersedia sangat terbatas serta konvensional.

g.Terjadinya tumpang tindih regulasi karena kebutuhan dan disparitas interpretasi terhadap peraturan dan perundangan bidang kehutanan telah ikut mendorong terjadinya pemanfaatan hutan yang tidak lestari.

h.Tumpang tindih kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan dibidang kehutanan yang kurang jelas, menyebabkan peluang pengelolaan hutan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan menjadi lebih besar.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 gangguan terhadap kelestarian hutan yang disebabkan oleh tindakan manusia, dapat dirinci sebagai berikut :

a.Melakukan penambangan pada kawasan hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka. Pasal 38 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999.

b.Menggunakan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa ijin dari Menteri Kehutanan. Pasal 38 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999.

c.Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Yaitu merusak parasarana perlindungan hutan yang antara lain: pagar-pagar batas kawasan hutan, pal batas hutan, ilaran api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan. Dan merusak sarana perlindungan seperti: alat pemadam kebakaran, tanda larangan, rambu-rambu pengamanan hutan dan alat angkut. Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999.

d.Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan akibat diberikannya izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Yaitu terjadinya perubahan fisik, sifat atau hayati, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999.

e.Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Nomor 41 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan:
1)Mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
2)Menggunakan kawasan hutan secara tidak sah adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ijin yang diberikan.
3)Menduduki kawasan hutan secara tidak sah adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung dan bangunan lainnya.

f.Merambah hutan. Melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Nomor 41 Tahun 1999.

g.Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan Pasal 50 ayat (3) huruf c UU Nomor 41 Tahun 1999 :
1)500 m dari kiri kanan tepi sungai
2)200 m dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
3)100 m dari kiri kanan tepi sungai
4)50 m dari kiri kanan tepi anak sungai
5)kali kedalaman jurang dari tepi jurang
6)130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai

h.Membakar hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf d UU Nomor 41 Tahun 1999

i.Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf e UU Nomor 41 Tahun 1999. Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah :
1)pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan di luar areal yang diberikan izin;
2)pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan melebihi target volume yang diizinkan;
3)pemegang izin melakukan penangkapan/pengumpulan flora fauna melebihi target/quota yang telah ditetapkan;
4)pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang.

j.Menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf f UU Nomor 41 Tahun 1999.
k.Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa ijin Menteri. Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Nomor 41 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan:
1)Melakukan kegiatan penyelidikan umum tanpa ijin adalah melakukan kegiatan penyelidikan umum atau geofisika di daratan, perairan dan dari udara, dengan maksud membuat peta geologi umum atau menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
2)Melakukan eksplorasi tanpa ijin adalah melakukan segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.
3)Melakukan kegiatan eksploitasi tanpa ijin adalah melakukan kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
l.Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf h UU Nomor 41 Tahun 1999. Termasuk dalam pengertian hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan adalah :
1)Asal usul hasil hutan dan tempat tujuan pengangkutan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan;
2)Apabila keadaan fisik, baik jenis, jumlah maupun volume hasil hutan yang diangkut, dikuasai atau dimiliki sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan isi yang tercantum dalam surat keterangan sahnya hasil hutan;
3)pada waktu dan tempat yang sama tidak disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti;
4)Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan masa berlakunya telah habis;
5)hasil hutan tidak mempunyai tanda sahnya hasil hutan.
6)Ketentuan lebih lanjut mengenai surat keterangan sahnya hasil hutan diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

m.Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf i UU Nomor 41 Tahun 1999.

n.Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin yang berwenang. Alat-alat berat yang dimaksud antara lain: Traktor Buldozer, truk, loging truck, tariler, crane, tongkang, perahu klotok, helicopter, jeep, tugboat dan kapal. Pasal 50 ayat (3) huruf j UU Nomor 41 Tahun 1999.

o.Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf k UU Nomor 41 Tahun 1999.

p.Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf l UU Nomor 41 Tahun 1999.

q.Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf m UU Nomor 41 Tahun 1999.

r.Mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 50 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999

Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tindak pidana bidang kehutanan dam konservasi sumber daya alam hayati, diuraikan sebagai berikut :

a.Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1990 Maksud dari perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas suaka alam, perburuan satwa yang berada dalam kawasan serta menambah dan memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

b.Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati. Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990

c.Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (1) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990

d.Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990

e.Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati. Pasal 21 ayat (2) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990

f.Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (2) huruf c UU Nomor 5 Tahun 1990

g.Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau megeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pasal 21 ayat (2) huruf d UU Nomor 5 Tahun 1990

h.Mengambil , merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 21 ayat (2) huruf e UU Nomor 5 Tahun 1990

i.Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Maksud perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional adalah mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Pasal 33 ayat (1)

j.Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pasal 33 ayat (3).

2.Disebabkan Oleh Ternak

Kerusakan akibat penggembalaan ternak dalam hutan dapat menyebabkan seluruh pohon mati, bahkan dapat menimbulkan erosi tanah. Derajad kerusakan yang diderita hutan tergantung pada jenis serta jumlah ternak, intensitas penggembalaan dan jenis pohon penyusun hutan. Jenis berdaun lebar akan lebih disukai ternak daripada yang berdaun jarum. Intinya, spesies yang berbeda dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap penggembalaan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penggembalaan di hutan adalah :

a.Populasi ternak disekitar kawasan hutan.
Semakin besar populasi ternak yang hidup di sekitar hutan maka akan semakin banyak pakan ternak yang dibutuhkan sehingga semakin besar kemungkinan ternak digembalakan di hutan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.

b.Jumlah hijauan ternak yang mampu dihasilkan di desa sekitar hutan.
Tidak adanya lahan di pedesaan sekitar hutan yang dapat digunakan untuk penydiaan ternak guna memenuhi kebutuhan ternak akan menyebabkan masuknya pemilik ternak, baik sendiri maupun bersama ternaknya, ke hutan untuk mencari pakan ternak.

c.Teknik memelihara ternak yang dilakukan oleh masyarakat. Peternakan sistem lepas menyebabkan penggembalaan ternak dihutan.

d.Intensitas pengawasan oleh pengelola kawasan hutan. Kurangnya pengawasan memungkinkan masuknya ternak di hutan.

Akibat yang terjadi :
a.Kerusakan Terhadap Tanah Hutan
Ternak yang digembalakan di dalam hutan, misalnya lembu dan kambing, apabila populasinya berlebihan akan menyebabkan banyak tanah menjadi terbuka karena rumput dan tanaman yang melindungi tanah dimakan ternak. Injakan kaki ternak dapat mengakibatkan tanah terkais sehingga bila hujan akan mudah dibawa oleh aliran air. Tanah akan menjadi padat, pori-pori tanah tertutup oleh partikel-partikel tanah dan air hujan akan menggenang di permukaan tanah. Akibat dari semua itu akan dapat menimbulkan suatu erosi tanah, terutama tanah-tanah yang miring akan lebih cepat tererosi.
Tanah-tanah yang miring dan hutan-hutan yang berfungsi untuk melindungi tata air atau sumber air merupakan daerah yang harus bebas dari penggembalaan ternak.

b.Kerusakan tanah Tanaman Muda
Tanaman muda yang dimaksud adalah tanaman yang tajuknya masih dapat dicapai oleh ternak. Tanaman muda sangat peka terhadap penggembalaan. Karena tajuknya yang masih rendah dan batangnya masih lemah, bila dimasuki ternak maka akan dapat berakibat :
1)daun/tajuk tanaman dimakan sampai gundul,
2)batang tanaman dapat melengkung atau patah,
3)seluruh tanaman dapat tercabut,
4)kulit batang sering dimakan dan terkupas.
c.Menularkan penyakit pada satwa liar
Ternak yang digembalakan didalam hutan dapat menularkan penyakit kepada satwa liar yang hidup didalam hutan. Kasus yang populer terjadi di TN. Ujung Kulon yaitu kematian Badak Jawa, karena penyakit antrak yang ditularkan dari Kerbau yang digembalakan masyarakat di gunung Honje pada tahun 1981.

3.Disebabkan Oleh Hama dan Penyakit

a.Hama
Di hutan alam hidup berbagai jenis hewan dan serangga, selama hewan dan serangga tidak menimbulkan kerusakan terhadap tanaman yang secara ekonomis berarti maka serangga dan hewan tersebut belum disebut sebagai hama. Akan tetapi jika serangga dan hewan tersebut sudah menimbulkan kerusakan terhadap jenis tanaman hutan yang secara ekonomis berarti maka serangga atau hewan penyebab kerusakan terhadap jenis tanaman hutan dapat disebut sebagai hama.
Di hutan alam yang hidup berbagai jenis tumbuhan dan satwa sangat jarangsekali terjadi kerusakan tanaman hutan akibat adanya serangga atau hewan. Keadaan ini dikarenakan adanya hubungan antara mahluk hidup dan lingkungannya di hutan alam sangat kompleks sehingga memperkuat kestabilan ekosistem. Bebeda dengan hubungan antara mahluk hidup dan lingkungannya di areal hutan tanaman industri yang cenderung monokultur atau memiliki keanekaragaman hayati rendah telah membuat kondisi ekosistem yang labil. Keadaan ini yang memicu terjadinya hama tanaman hutan.

Hukum ekologi menyatakan bahwa makin rendah keragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut semakin labil.keadaan lanil ini akan membuat dan mempermudah meledaknya suatu populasi jenis serangga dan hewan tertentu yang dapat menjadi hama bagi jenis tanaman tertentu pula.
Apabila populasi margasatwa tersebut berlebihan (over population), maka akan menimbulkan kerusakan dalam ekosistem hutan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat terjadi pada : (1) daun dari pohon, (2) pucuk dan tunas pohoh, (3) kulit pohon, (4) batang pohon, (5) semai dan anakan, (6) biji dan buah, dan (7) kerusakan tidak langsung akibat luka pohon yang ditimbulkan, (8) menjadi pemangsa atau memakan populasi spesies lain.

Di beberapa negeri terdapat jenis-jenis binatang pengerat yang dapat menumbangkan pohon dengan memotong batang pohon sampai putus. Margasatwa dan pohon-pohon di hutan yang hidup bersama merupakan suatu masyarakat yang masing-masing mempunyai hubungan erat. Tindakan manusia pada salah satu organisme tersebut akan mempengaruhi organisme lainnya. Misalnya aktivitas manusia dalam penembangan atau pemelirahaan hutan akan mempengaruhi kehidupan dan populasi margasatwa, yang berarti pula dapat mengubah kerusakan hutan yang disebabkan oleh margasatwa.

Tiap-tiap daerah atau negeri mempunyai macam dan jumlah satwa liar yang berbeda. Di Indonesia pada umumnya kerusakan hutan akibat satwa liar ditimbulkan oleh rusa, bajing, tikus, babi, kelinci dan burung.
1)Rusa, kerusakan yang ditimbulkan oleh rusa mirip dengan kerusakan yang disebabkan oleh penggembalaan kambing, walaupun jenis makanannya tidak sama. Lebih kurang 60% makanan rusa juga disukai oleh kambing. Rusa juga sangat merusak tanaman-tanaman muda dan anakan.
2)Bajing, kerusakan yang ditimbulkan pada bajing dapat terjadi pada biji, buah, pucuk, tunas dan kulit pohon. Binatang ini hidup di pohon bagian atas. Bajing dapat berguna untuk membantu pemencaran jenis tanaman, karena sering membawa biji atau buah ke tempat yang agak jauh dari pohonnya dan menyembunyikan di tanah sehingga memperbesar kemungkinan biji tumbuh menjadi tumbuhan baru.
3)Tikus, binatang ini merusak biji, mengerat kulit dari anakan dan tanaman muda sampai mati. Pada hutan tanaman industri tikus juga merusak benih yang disimpan, benih yang disemai, dan merusak persamaian. Bagian yang dirusak biasanya dekat dengan tanah terutama yang tertutup serasah. Di beberapa daerah terdapat jenis tikus yang hidup dipohon bagian atas. Tikus menyukai hutan yang mempunyai tanaman penutup tanah dan serasah yang lebat.
4)Babi hutan, binatang ini sering merusak biji, buah, akar-akar pohon, anakan, dantanaman muda. Sistem penanaman tumpangsari terutama yang menggunakan umbi-umbian akan sering didatanngi babi hutan.
5)Kelinci, kerusakan yang ditimbulkan kelinci terjadi pada pucuk dan tunas, tanaman muda, cabang-cabang kecil, batang dan kulit pohon. Binatang ini sering mengerat pohon dan menimbulkan kematian.
6)Burung, sebenarnya lebih banyak manfaatnya dibanding dengan kerugiannya. Misalnya memencarkan jenis tanaman melalui biji, memakan serangga yang merugikan, juga memakan binatang-binatang kecil (bajing, tikus, kelinci) yang membuat kerusakan pada hutan. Burung dianggap merusak karena ada beberapa jenis burung yang sering melubangi pohon untuk tempat tinggalnya, atau mematuk-matuk pohon untuk mencari makanan, meskipun kegiatan ini juga menguntungkan karena mengurangi populasi serangga hama.
7)Kera, dapat merusak daun, ranting bunga, buah maupun kulit batang, sehingga pohon-pohon akan meranggas dan akhirnya mati. Kasus hancurnya habitat bekantan di Pulau Kaget Kalimantan Selatan pada akhir tahun 90-an merupakan contoh yang sangat menarik sebagai bahan pelajaran berharga.
8)Spesies infasive, Tumbuhan dan hewan invasive baik asli maupun eksotik tidak diinginkan dan merupakan tambahan yang berbahaya di kawasan alam yang dilindungi. Contoh di mana spesies invasive/eksotik menjadi hama yang buruk di kawasan baru dan sering juga menyaingi dan menggantikan spesies setempat. Kelinci dan buah pir berduri ke Australia yang membawa malapetaka itu adalah kasus lain yang terdokumentasikan dengan baik. Pesannya jelas : spesies eksotik tidak boleh diintroduksikan ke habitat yang baru kecuali dalam keadaan khusus. Etapi, dalam beberapa kategori kawasan dilindungi dengan pemanfaatan ganda, atau dalam keadaan khsusu dikawasan dilindungi lainnya, spesies eksotik kadang-kadang dapat memegang peranan penting dan berguna (misalnya spesies ekostik yang diintroduksikan ke kawasan pemanfaatan ganda untuk tujuan ekonomi ; menstabilkan kawasan yang peka erosi, pengendalian biologi eksotik lainnya atau spesies hama). Untuk alasan apapun, introduksi suatu spesies eksotik perlu mempertimbangkan butir-butir berikut :

a)Jangan mengintrodusikan spesies yang memiliki potensi sebagai hama, misalnya telah diketahui memakan ternak piaraan atau tanaman, dikenal sebagai pembawa penyakit berbahaya, spesies yang kapasitas penyebarannya dan pengembangbiakannya tinggi, atau ekologinya hampir setara dengan spesies lokal.

b)Hindari introduksi spesies eksotik bila spesies lokal dapat berbuat hal yang sama, misalnya spesies yang dimanfaatkan sebagai pohon pelindung. Sama halnya jangan menggunakan tanaman hias atau tanaman bunga eksotik di kebun bunga sekitar bangunan gedung taman.

c)Perlu berhati-hati agar bila diperlukan jenis eksotik tersebut dapat dikendalikan atau dibasmi.

d)Membuat introduksi percobaan pada kawasan sempit yang terisolasi di mana spesies eksotik dapat dimusnahkan bila hasil percobaan tidak memuaskan.

e)Jenis eksotik penting, misalnya syauran yang ditanam untuk konsumsi staf, hewan pengangkut barang untuk keperluan pengelolaan, harus seminimal mungkin dan ditempatkan di luar kawasan yang dilindungi atau bilaman lebih praktis dibatasi pada kawasan pengembangan.

f)Hindari introduksi spesies sekunder atau penyakit pada spesies ekostik.


b.Penyakit

Hutan dikatakan sakit apabila pohon-pohon yang ada di dalamnya mengalami tekanan secara terus menenerus oleh faktor-faktor biotik atau oleh faktor-faktor abiotik lingkungannya sedemikian rupa hingga menimbulkan kerugian. Kerugian ini dapat berbentuk kwalitas maupun kwantitas tegakan pohon.
Pohon menjadi sakit karena adanya aktifitas terus menerus dari penyebab penyakit pada pohon tersebut dan terjadi dalam waktu yang lama. Akibat aktifitas dari penyebab penyakit yang terus menerus tersebut pohon menjadi merana, cacat bahkan menimbulkan kematian. Berbagai macam penyebab penyakit yang dapat menular diantaranya adalah: bakteri, fungi dan virus. sedangkan mcam-macam penyebab penyakit yang tidak menular, yaitu: Ph tanah, tidak tersedianya unsur-unsur hara tertentu di dalam tanah, kandungan air tanah, adanya zat-zat kimia tertentu akibat limbah industri pada kandungan tanah dan lain-lain.

4.Disebabkan Oleh Daya-Daya Alam

Gangguan kawasan hutan yang disebabkan oleh daya-daya alam secara prinsip tidak bisa dihindari karena di luar kekuatan manusia. Daya-daya alam yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan, misalnya adanya halilintar dan petir, gesekan oleh bahan-bahan atau material yang dapat menyebabkan timbulnya api, potensi batubara yang tinggi yang dapat menghasilkan panas bumi, dll. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka Perlindungan hutan dari daya-daya alam terdiri dari :

a.Letusan gunung, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pemantauan proses alam dan normalisasi saluran lahar.
b.Tanah longsor, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pembuatan terasering dan penanaman jenis tanaman perakaran dalam.
c.Banjir, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu reboisasi dan penghijauan
d.Badai, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu menanam pohon pemecah angin
e.Kekeringan, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu melindungi sumber air, cek dam dan waduk.
f.Gempa, kegiatan yang dapat dilakukan yaitu membuat peta rawan gempa.

C.Pelaku Tindak Pidana Kehutanan

Tindak Pidana Kehutanan adalah suatu perbuatan yang dilarang maupun diwajibkan Undang-undang dan peraturan yang mengatur kehutanan yang apabila dilanggar atau diabaikan maka kepada orang yang melanggar atau yang mengabaikan tersebut diancam dengan pidana atau sanksi hukuman. Dalam Pasal 55 KUHP dinyatakan bahwa orang yang disebut sebagai pelaku tindak pidana, adalah:

1.Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2.Orang yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
3.Orang yang menganjurkan, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Sedangkan Pasal 56 KUHP juga menyatakan bahwa orang dapat disebut sebagai pembantu pelaku tindak pidana jika:
1.Orang tersebut sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.Orang tersebut sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pelaku tindak pidana bidang kehutanan secara umum dapat digolongkan sebagai berikut:
1.Perorangan, yaitu tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan oleh perorangan,
2.Kelompok Masyarakat, tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau secara bersama-sama.
3.Organisasi atau Pelaku Usaha, seperti Kelompok Tani atau koperasi yang melakukan penebangan hutan dengan dalih membuat perkebunan, Perusahaan yang umumnya melakukan penebangan pohon diluar blok dan pembukaan hutan untuk perkebunan, pembakaran hutan dan lain-lain.

D.Kerugian Dan Dampak Kerusakan Hutan

Sebagai akibat dari kerusakan hutan yang terus berlanjut, kerugian dan danpak negatif yang telah ditimbulkan, diantaranya adalah:

1.Pendapatan negara berkurang sekitar US$1.4 milyar setiap tahun, kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.

2.Kehancuran sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya serta menurunnya kwalitas kehidupan masyarakat.

3.Keseimbangan lingkungan dan kelestarian ekologi sumber daya alam terganggu, sehingga terjadi krisis air, becana tanah longsor, banjir, perubahan cuaca (global warming).

4.Krisis sosial, meningkatkan ketegangan dalam masyarakat, masyarakat rawan konflik dan mudah diadu domba.

5.Dalam hubungan internasional walaupun Indonesia memiliki kawasan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi akibat deforestasi yang terus berlanjut posisi tawar Indonesia menjadi lemah.