Minggu, 11 Januari 2009

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PERLINDUNGAN HUTAN

Oleh: Waldemar Hasiholan

Kebijakan Umum

Penyelenggaraan perlindungan dan pengamanan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari (Pasal 46 UU No. 41 tahun 1999). Perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan sanksi Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun sudah cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu namun perangkat hukum tersebut belum dapat diterapkan secara optimal dan konsekwen untuk mengatasi pembalakan liar karena masih lemahnya penegakan hukum. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pembalakan liar, diantaranya adalah:

1.Praktik KKN di sektor kehutanan yang menyebabkan upaya penyelesaian pembalakan liar tidak jelas dan tidak terarah pada pelaku utama.
2.Keterlibatan aktor intelektual pembalakan liar yang terlalu kuat untuk ditembus hukum karena keterkaitan dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer.
3.Kondisi sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat yang masih rendah sehingga cenderung melakukan pembalakan liar secara berkelompok dan menjadi tameng bagi pemilik modal.
4.Keserakahan pemilik modal sehingga memilih jalan pintas untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan memperalat masyarakat untuk melakukan pembalakan liar.
5.Kurangnya komitmen bersama institusi penegak hukum dalam pemberantasan penebangan liar sehingga masing-masing cenderung menginterpretasikan peraturan dan perundang-undangan menurut kepentingan pribadi, kelompok dan institusi.
6.Tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan hutan dan hasil hutan: Sebagai contoh, tumpang tindihnya kewenangan antara pusat dan daerah. Salah satu penyebab illegal logging adalah tarik-menarik kepentingan di balik kewenangan itu. Jika daerah menggunakan Otsus (otonomi khusus) sedangkan pemerintah memakai Undang-Undang Kehutanan.
7.Perijinan pemanfaatan hasil hutan yang kurang memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat dan masyarakat tempatan sehingga peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kurang terlibat secara aktif.

Saat ini pembalakan liar sudah menjadi tindak pidana kehutanan yang luar biasa dan hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia yang sudah berdampak merugikan kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, juga telah mengancam moral bangsa, kedaulatan dan keutuhan Wilayah Negara Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia perlu membuat kebijakan nasional khusus untuk memberantas pembalakan liar yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku utama dan pelaku pembantu serta pelaku terkait lainnya. Kebijakan Nasional yang secara khusus menangani tindak pidana pembalakan liar yang telah disiapkan adalah Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar.

Rancangan Undang Undang Pemberantasan Pembalakan Liar

Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar dibuat untuk melengkapi peraturan dan perundang-undangan yang telah ada dengan berazaskan: keadilan, kepastian hukum, sistem peradilan yang cepat, murah dan sederhana, transparans, tidak diskriminatif, bertanggunggugat dan peran serta masyarakat. Tujuan dibuatnya rancangan undang-undang ini adalah untuk memberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera, dan dapat menjangkau semua pihak yang terkait degan pelaku tindak pidana pembalakan liar guna terwujudnya masyarakat sejahtera dan hutan lestari.
Ruang lingkup Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar adalah:

1.Pembentukan badan khusus yang menangani pembalakan liar
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dibentuk untuk memberantas pembalakan liar yang efektif, mencapai sasaran dan memberikan efek jera kepada pelakunya. Badan ini mempunya tugas merencanakan. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang terkait dengan pemberantasan pembalakan liar. Adapun kewenangan yang dimilikinya adalah:
a.Menyusun kebijakan, strategi, taktik dan rencana pelaksanaan operasi pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar;
b.Menyusun mekanisme dan mengelola laporan masyarakat tentang dugaan terjadinya pembalakan liar;
c.Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pembalakan liar yang telah menimbulkan kerugian lebih dari 1 milyar rupiah, melibatkan aparat negara penyelenggara negara, penegak hukum dan TNI serta yang telah meresahkan masyarakat.
d.Mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar badan;
e.Melakukan pelelangan barang bukti hasil pembalakan liar;
f.Meminta dan memperoleh seluruh status penanganan perkara pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar badan;
g.Mengumpulkan, menganalisa, mengevaluasi proses dan hasil penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara pembalakan liar di sidang pengadilan;
h.Memberikan perlindungan terhadap informan, pelapor, saksi dan korban.
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar diketuai oleh Menteri dan bertanggungkawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

2.Pembentukan Pengadilan Khusus di Peradilan Umum
Dalam rangka efisien dan efektifitas penegakan hukum terhadap pembalakan liar dilingkungan Peradilan umum, maka Mahkamah Agung membentuk Pengadilan Khusus Pembalakan Liar yang mempunyai wewenang khusus untuk memeriksa, mengadili dan menutuskan perkara pembalakan liar.
Hakim Pengadilan Khusus Pembalakan Liar terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc yang ditetapkan dan diberhentikan oleh Presiden.

3.Hukum Acara Pidana
Tata cara pelaksanaa dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan pembalakan liar berdasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku. Pemeriksaan di sidang pengadilan serta putusan perkara dapat dilaksanakan oleh hakim tanpa kehdiran terdakwa.

4.Hukum Materiil
Alat bukti pemeriksaan perbuatan pembalakan liar, meliputi: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHP, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik.

5.Kerjasama Internasional
Dalam rangka pencegahan dan penberantasan pembalakan liar Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dapat bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia melakukan kerjasama internasional dengan negara lain maupun organisasi internasional.

6.Perlindungan saksi, korban, pelapor dan informan
Masyarakat yang berperanserta dalam pemberantasan pembalakan liar perlu mendapatkan perlindungan baik keamanan maupun hukum. Untuk itu Badan PPL dapat meminta bantuan instansi terkait untuk memberikan perlindungan kepada saksi, pelapor, korban dan informan.

7.Insentif dan Pendanaan
Biaya untuk pelaksanaan undang-undang pemberantasan pembalakan liar dan pelaksanaan tugas Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dibebankan pada dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara, hasil lelang dan sumber dana lainnya.

8.Ketentuan lain.
Penentuan keabsahan hasil hutan kayu bertupa fisik maupun dokumen hanya dapat dilakukan oleh petugas kehutanan yang ditunjuk oleh Ketua Badan Pemberantasan Pembalakan Liar. Semua hasil hutan dari hasil penbalakan liar dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya disita untuk negara.

Koordinasi Perlindungan Hutan

Salah satu penyebab kerusakan hutan yang sangat merugikan negara adalah adanya pembalakan liar atau ilegal loging. Oleh karena ruang lingkup penyebab terjadinya dan pelaku pembalakan liar meliputi lintas sektoral maka untuk memberantas pembalakan liar diperlukan koordinasi dan keterpaduan lintas institusi yang terkait mulai dari hulu sampai dengan hilir. Tujuan dari koordinasi perlindungan hutan adalah mewujudnya perlindungan hutan dan penegakan hukum secara optilmal dan terpadu dengan melakasanakan kegiatan pokok:
1.Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal
2.Revitalisasi sektor kahutanan khususnya industri kehutanan
3.Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan
4.Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan
5.Pemantapan kawasan hutan

Koordinasi pemberantasan illegal logging sudah dirintis sejak Tahun 1982 dengan dibentuknya Tim Khusus Kehutanan yang pada Tahun 1985 diubah menjadi Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH). Kemudian pada Tahun 1995 diterbitkan Keppres 22/1995 tentang Pembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Selanjutnya Tahun 2000 dibentuk Tim Penanggulangan Penebangan Liar dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan 150/2000. Selain itu sejak Tahun 2001 Departemen Kehutanan bersama Kepolisian Republik Indonesia dan Markas Besar TNI Angkatan Laut menggalakkan Operasi Wanalaga dan Wanabahari untuk menangkal illegal logging di darat dan di laut, Tahun 2003 dilanjutkan dengan Operasi Hutan Lestari (OHL).

Berbagai upaya koordinasi perlindungan dan pengamanan hutan untuk memberantas pembalakan liar yang telah dilakukan pemerintah tersebut belum efektif dan belum menunjukaan hasil sesuai harapan. Perangkat hukum yang ada belum bisa menyentuh pelaku utama dan membuat semua pihak yang terlibat menjadi jera. Kerusakan hutan terus berlangsung demikian juga dengan aktivitas ilegal loging masih semakin marak dan mengkawatirkan.

Sebagai perwujudan komitmen politik dalam memberantas ilegal loging Pemerintah Republik Indonesia, melaui INPRES Nomor 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada:
1.Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
2.Menteri Kehutanan;
3.Menteri Keuangan;
4.Menteri Dalam Negeri;
5.Menteri Perhubungan;
6.Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7.Menteri Luar Negeri;
8.Menteri Pertahanan;
9.Menteri Perindustrian;
10.Menteri Perdagangan;
11.Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
12.Menteri Negara Lingkungan Hidup;
13.Jaksa Agung;
14.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
15.Panglima Tentara Nasional Negara;
16.Kepala Badan Intelijen Negara;
17.Para Gubernur;
18.Para Bupati/Walikota;

Untuk:
1.Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

a.Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
b.Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c.Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d.Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e.Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

2.Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

3.Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

4.Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.

5.Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
Khusus kepada :

1.Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:
a.Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b.Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c.Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.

2.Menteri Kehutanan:

a.Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
b.Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
c.Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

3.Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a.Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
b.Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c.Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.

4.Jaksa Agung :
a.Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
b.Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi.

5.Panglima Tentara Nasional Indonesia :
a.Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.

6.Menteri Keuangan :
a.Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b.Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.

7.Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

8.Menteri Perhubungan :
a.Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
b.Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
c.Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d.Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

9.Para Gubernur :
a.Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b.Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
c.Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e.Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
f.Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

10.Bupati/Walikota :
a.Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b.Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
c.Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e.Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
f.Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g.Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
h.Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, agar memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya kepada instansi terait.

Rangkuman
Perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 sudah cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu namun perangkat hukum tersebut belum dapat diterapkan secara optimal dan konsekwen untuk mengatasi pembalakan liar karena masih lemahnya penegakan hukum.
Koordinasi pemberantasan illegal logging yang sudah dirintis sejak Tahun 1982 sampai dengan sekarang belum menunjukan hasil yang efektif sehingga Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada selutuh jajaran pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah untuk memberantas pembalakan liar yang telah terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu sebagai komitmen Bangsa Indonesia dalam memerangi pembalakan liar, saat ini sedang disusun Rancangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Pembalakan Liar.

Tidak ada komentar: